Bahaya Scrolling Tanpa Henti: Peran Pendidikan Informatika dalam Menjaga Mental Digital
5 minutes read
·
February 3, 2025
Era media sosial telah merasuk ke dalam kehidupan anak-anak sekolah. Kebiasaan menggulir (scrolling) tanpa henti di platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube memunculkan istilah baru seperti doomscrolling (menggali konten negatif terus-menerus) dan brainrot (penurunan kondisi mental akibat konsumsi konten daring sepele).
Fenomena Media Sosial Berlebihan
Konsumsi media sosial berlebihan kini bukan monopoli orang dewasa. Anak SD hingga remaja (Gen Z/Gen Alpha) sehari-hari lebih banyak terpapar smartphone dan internet. Meski media sosial memudahkan akses informasi dan komunikasi, penggunaan berlebihan bisa menimbulkan stres. Sebuah survei pada remaja Gen Z (usia 12–26) menemukan bahwa “penggunaan media sosial secara berlebihan, terutama pada platform yang berfokus pada citra diri dan interaksi sosial, berhubungan dengan peningkatan stres"1. Dalam kurun pandemi misalnya, banyak anak yang menghabiskan waktu berjam-jam scrolling berita COVID negatif, memicu kecemasan dan keresahan. Fenomena serupa muncul pula saat menonton video pendek tanpa henti (zoom scrolling) atau terjebak meme viral sebagai kebiasaan-kebiasaan yang anak muda sebut brainrot2. Perilaku ini sering kali tak disadari sampai gejala psikologis sudah mulai muncul.
Dampak Psikologis dan Sosial
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan media sosial bermasalah berdampak negatif pada kecemasan, depresi ringan, dan stres. Misalnya, penelitian pada mahasiswa mengaitkan adiksi media sosial dengan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, yang selanjutnya menurunkan prestasi akademik3. WHO juga mengingatkan bahwa "media sosial berlebih telah terbukti menyebabkan depresi, bullying, kecemasan, dan penurunan performa akademik". Selain itu, terlalu lama menatap layar mengganggu pola tidur "penggunaan media sosial bermasalah dikaitkan dengan kurang tidur dan waktu tidur yang lebih larut, sehingga berpotensi merusak kesehatan dan prestasi akademik remaja"4. Semua ini berujung pada penurunan konsentrasi belajar, motivasi, dan kualitas kesehatan mental siswa.
Tidak hanya psikologis, aspek sosial juga terganggu. Misalnya cyberbullying kian marak di media digital. Studi internasional melaporkan sekitar 4,5–24% anak pernah menjadi korban cyberbullying. Dampaknya mirip bullying tradisional: kesehatan mental dan prestasi belajar korban bisa terganggu5. Dengan kata lain, lingkungan online yang tak terkontrol turut menurunkan empati dan rasa aman anak saat belajar. Selain itu, konten konsumtif tanpa henti juga memicu kecanduan informasi (FOMO) dan perasaan tidak berdaya. Pelajar bisa kehilangan batas waktu; sulit mengatur jam belajar dan beristirahat. Semua efek ini menambah beban psikis dan sosial yang membahayakan proses belajar mengajar di sekolah.
Peran Pendidikan Informatika
Menghadapi masalah ini, pendidikan informatika di sekolah memegang peran penting. Kurikulum informatika kini harus menekankan literasi digital yaitu kemampuan kritis mengakses, memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi serta teknologi digital secara efektif. Literasi digital berarti anak diajari mengenali berita hoaks, mengelola privasi data, serta berperilaku bijak dalam media sosial6. Menurut UNICEF, literasi digital mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap agar anak-anak aman dan berdaya di dunia digital7. Dengan pemahaman ini, siswa bisa lebih selektif memilih konten dan tidak mudah terjerumus scroll tanpa tujuan.
Selain literasi konten, manajemen waktu digital perlu diajarkan. Guru informatika dapat memberikan modul atau latihan tentang pengaturan jadwal penggunaan gadget, seperti istirahat terjadwal dan membatasi durasi menonton video online. Misalnya, Google dan WHO menyarankan membatasi waktu layar agar kegiatan offline (bermain di luar, berkumpul keluarga) tetap seimbang. Pendidikan informatika juga bisa mengenalkan kebiasaan digital detox ringan misalnya tidak memegang ponsel satu jam sebelum tidur untuk menjaga kualitas tidur siswa. Langkah-langkah semacam ini didukung oleh riset yang menekankan pentingnya edukasi literasi digital sejak dini1 8.
Lebih jauh, pembelajaran informatika harus memasukkan diskusi tentang dampak media sosial (seperti kecemasan dan cyberbullying) dan mengajarkan etika digital. Dengan peran guru sebagai fasilitator, anak-anak didorong untuk aktif berdiskusi mengenai berita palsu, batasan privasi, serta cara menanggapi cyberbullying. Intervensi berbasis sekolah, misalnya workshop literasi digital dan kampanye anti-bullying daring, telah terbukti efektif mencegah dampak negatif tersebut. Intinya, pendidikan informatika menjadi sarana edukasi holistik: menggabungkan literasi media, keamanan siber dasar, dan pengelolaan waktu online-offline.
Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian menegaskan bahaya serius scrolling tanpa henti bagi pelajar: kecemasan, stres, kualitas belajar menurun, hingga risiko cyberbullying. Untuk mengantisipasi hal ini, sekolah perlu mengintegrasikan literasi digital dan manajemen waktu layar ke dalam mata pelajaran informatika. Langkah praktis misalnya:
- Ajarkan literasi digital sejak dini: Guru informasikan cara memverifikasi berita, pentingnya privasi, dan etika berinteraksi online.
- Beri panduan manajemen waktu: Terapkan aturan waktu screen time di kelas dan rumah, misalnya istirahat sejenak setiap 30 menit scrolling, atau tidak membawa gawai di kelas kecuali diperlukan.
- Dukung keseimbangan online–offline: Dorong kegiatan offline (olahraga, seni, membaca buku) sebagai alternatif hiburan. Sekolah bisa membuat program "hari bebas gadget" atau lomba kreatifitas non-digital.
- Libatkan orangtua dan teman sebaya: Orangtua diajak untuk ikut mengawasi pola online anak, sedangkan siswa dapat belajar saling mendukung (peer support) dalam menggunakan media sosial secara sehat.
Dengan upaya bersama guru, sekolah, dan keluarga, pelajar tidak hanya dibekali keterampilan teknologi, tetapi juga wawasan dan kebiasaan digital yang sehat. Pendidikan informatika yang responsif pada tantangan media sosial dapat membantu generasi muda menggunakan internet tanpa mengorbankan kesehatan mental dan proses belajar mereka.
Referensi:
Share this